Komunitas Blogger Perempuan Indonesia
Corynebacterium diphtheriae, illustration. C. diphtheriae is a Gram-positive rod-shaped bacterium which is transmitted by respiratory droplets and causes the disease diphtheria. Diphtheria is characterised by the formation of fibrin-containing membranes on the tonsils and on the surface of the respiratory tract that can lead to respiratory obstruction (difficulties in breathing). C. diphtheriae also produces a toxin which affects the heart, nervous system and kidneys.

Mengenal Virus Difteri pada Anak

Mengenal Virus Difteri pada Anak

Difteri termasuk penyakit infeksi serius yang kerap menyerang anak-anak. Di Indonesia, penyakit ini masih menjadi penyakit menahun yang belum sepenuhnya bisa di atasi. Karena itu, para wisatawan yang berkunjung ke Indonesia sering kali harus menjalani vaksin difteri untuk mencegah penularan.

 

Sejatinya, difteri tidak terlalu berbahaya sampai pada tingkat yang dapat mengancam nyawa. Namun, dalam kondisi serius penyakit ini dapat membahayakan beberapa organ dalam seperti ginjal, jantung, serta sistem syaraf pusat. Bahkan, bila target memiliki imun yang lemah maka bisa berakibat fatal walaupun telah diberi pengobatan sekalipun.

 

Apa itu Virus Difteri?

Apa itu Virus Difteri?

 

Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini ditularkan antara satu orang ke orang lain melalui droplet yang dihasilkan dari sistem respirasi seperti saat seseorang sedang batuk atau bersin.

 

Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri patogenik gram positif yang dalam dunia medis sering disebut sebagai Klebs–Löffler bacillus karena awalnya ditemukan oleh seorang ahli bakteriologis dari Jerman bernama Edwin Klebs dan Friedrich Löffler.

 

Bakteri ini pertama kali ditemukan pada tahun 1884 yang diambil dari sampel seseorang yang mengalami masalah pernapasan serta radang tenggorokan yang parah. Kemudian pada tahun 1900-an mulai dikembangkan vaksin untuk mencegah penyebaran difteri.

 

Cara kerja bakteri ini ialah dengan cara membuat racun bernama exotoxin yang akan diserap oleh darah lalu disalurkan ke seluruh sel-sel tubuh. Dalam kasus yang parah, racun ini dapat menghentikan organ jantung, ginjal, serta sel saraf dengan cara memblokir sintetis protein yang berlangsung pada tubuh.

 

Faktor Risiko yang Menjadi Penyebab Difteri

Faktor Risiko yang Menjadi Penyebab Difteri

 

Ada beberapa faktor risiko yang menjadi penyebab utama seseorang terinfeksi difteri baik dalam skala ringan maupun berat. Berikut di antaranya:

 

a)      Bepergian ke Negara yang Terdapat Kasus Difteri

 

Dalam kasus penyebarannya, Corynebacterium diphtheriae termasuk bakteri endemik yang hanya muncul di beberapa negara saja. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), di tahun 2018 masih terdapat 16 ribu kasus difteri di seluruh dunia yang meliputi negara-negara seperti:

 

  • Indonesia
  • Afrika
  • Amerika Selatan
  • India
  • Karibia
  • Eropa Timur
  • Pasifik Utara

 

Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, kasus penyakit difteri pada anak maupun dewasa sangat jarang ditemui. Karena itulah, sering kali lembaga kesehatan dari masing-masing negara menerapkan aturan vaksinasi difteri (diphteria vaccination) sebelum berkunjung ke beberapa negara tersebut.

 

b)      Tertular Melalui Percikan Batuk / Bersin

 

Untuk penularannya sendiri, hampir semua virus difteri ditularkan melalui percikan air liur saat seseorang sedang bersin ataupun batuk. Bila percikan ini sampai terhirup atau tertelan, maka orang tersebut akan tertular dan mulai terinfeksi dalam beberapa hari mendatang.

 

Selain itu, memegang benda yang sudah terkontaminasi dengan air liur penderita pun sangat berisiko terjadi penularan. Misalnya menggunakan gelas atau sendok yang sama dengan penderita difteri.

 

c)       Daya Tahan Tubuh Lemah

 

Dalam kebanyakan kasus, seseorang yang memiliki daya tahan tubuh lemah seperti halnya penderita HIV AIDS juga berpotensi memperparah gejala dari penyakit satu ini. Terutama bagi anak-anak dengan usia di bawah 4 tahun.

 

Bagi orang dewasa, risikonya jauh lebih rendah. Walau terpapar sekalipun, gejala yang muncul biasanya tidak terlalu tampak dan akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu beberapa hari setelah terinfeksi. Hanya saja, bagi orang lanjut usia di atas 65 tahun risikonya menjadi lebih tinggi mengingat daya tahan tubuhnya yang mulai melemah.

 

d)      Memiliki Luka yang Terinfeksi

 

Luka terbuka pada kulit yang dibiarkan tanpa diperban dan diberi pengobatan akan membuatnya berisiko tinggi terpapar bakteri Corynebacterium diphtheriae baik ditularkan melalui kontak benda ataupun percikan partikel udara.

 

Untuk menghindari hal ini, pastikan setelah terkena luka segera mencucinya dengan air bersih kemudian memberikan obat luka secukupnya dan diakhiri dengan memberinya perban.

 

e)      Tidak Mendapatkan Vaksin

 

Di Indonesia, program vaksin difteri sudah diberikan sejak seseorang masih bayi dan akan diulang beberapa kali jika memungkinkan.

 

Berdasarkan data yang di laporkan dari Health Government Australia, vaksin berperan besar dalam penanggulangan difteri. Karena itulah kasus penyebaran difteri di negara tersebut sangatlah rendah, bahkan bisa dikatakan mencapai 0.

 

Gejala dan Tanda-Tanda Difteri

 

 

Seperti yang dikutip dari CDC, penyakit difteri akan memunculkan tanda-tanda serta gejala pada pasien selang 2 – 5 hari setelah terinfeksi. Difteri lebih rentan terhadap anak-anak, karena itulah tingkat kematian akibat penyakit ini mencapai 20% untuk anak usia di bawah 4 tahun.

 

Tahap pertama saat seseorang terinfeksi oleh virus difteri ialah radang tenggorokan, namun dalam tingkat yang parah dengan disertai penumpukan jaringan mati di amandel sehingga membuatnya kesulitan menelan bahkan bernafas.

 

Selanjutnya, saat infeksi sudah menyebar maka penderita akan merasakan demam dalam skala ringan yang disertai dengan pembengkakan kelenjar di leher sekitar bawah telinga akibat respons sel darah putih pada tubuh yang melawan infeksi berat.

 

Dalam beberapa kasus, juga terjadi luka pada kulit yang ditandai dengan sakit saat ditekan, bengkak, serta melepuh kemerahan. Jika sudah parah, maka akan menimbulkan gejala yang lebih serius seperti halnya kegagalan organ jantung, saraf pusat, bahkan ginjal yang berakibat kematian.

 

Secara umum, penderita difteri tidak mesti mengalami gejala yang sama. Antara satu orang dengan orang lain pun seringkali muncul gejala yang berbeda. Namun, secara umum gejala yang terjadi pada penderita yang terinfeksi penyakit difteri yaitu sebagai berikut:

 

  • Sakit tenggorokan
  • Kesulitan dalam menelan
  • Munculnya pseudomembrane
  • Pucat pasi
  • Sesak nafas
  • Demam ringan
  • Suara yang serak
  • Penglihatan menurun
  • Benjolan di leher
  • Keringat dingin
  • Jantung yang berdebar cepat
  • Menggigil
  • Kulit yang bengkak kemerahan

 

Pencegahan Penyakit Difteri pada Anak

Pencegahan Penyakit Difteri pada Anak

Siapapun tentu tidak ingin sakit bukan? Karena itulah mencegah wajib diutamakan agar kalian terhindar dari segala penyakit, termasuk difteri. Berikut beberapa langkah untuk mencegah penyakit ini:

 

1)      Jaga Jarak dari Penderita Difteri

 

Pencegahan paling utama yang bisa dilakukan untuk mencegah terkena difteri ialah dengan cara menghindari penderitanya dengan cara menjaga jarak semaksimal mungkin.

 

Namun, jika kalian memang harus berdekatan dengan penderita tersebut, maka kami sarankan untuk menggunakan masker serta menghindari menggunakan perabotan yang telah digunakan olehnya.

 

2)      Melakukan Vaksin secara Rutin

 

Vaksin difteri merupakan sebuah “toksoid bakteri” yang diambil dari Corynebacterium diphtheriae atau bakteri lain yang telah dinonaktifkan tingkat toksisitas atau tingkat racunnya.

 

Umumnya, pemberian vaksin difteri diberikan secara bertahan mulai usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15 – 18 bulan, hingga mencapai 6 tahun. Nah berikut beberapa  vaksin yang biasa digunakan melawan difteri:

 

  • DTaP
  • DT
  • Tdap
  • Td

 

Pengobatan Penyakit Difteri pada Anak

Pengobatan Penyakit Difteri pada Anak

 

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang medis, maka ada banyak metode yang bisa dilakukan untuk melakukan pengobatan terhadap difteri. Berikut di antaranya:

 

  • Antitoksin: berupa penyuntikan DAT (Diptheria antitoxin) guna melawan racun yang diproduksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
  • Antibiotik: pemberian antibiotik seperti penicillin dan erythromycin yang berguna melawan infeksi difteri.
  • Pereda nyeri: obat-obatan tipe pereda nyeri seperi paracetamol dan iboprofen dapat diberikan jika penderita mengalami demam
  • Lanjutan: jika penderita mengalami kondisi parah, maka tim medis akan mengisolasinya di ICU (Intensive Care Unit) guna perawan lebih lanjut.

 

Nah, itulah informasi yang bisa kami berikan seputar mengenal virus difteri pada anak. Semoga bermanfaat dan salam sehat!